Tentang 'Koma' (1/2)

/
0 Comments


I Love my Country; Antara Proses dan Hasil (1/2)


Tak tahu kenapa dan mengapa, kita disajikan informasi, berita, cerita, pikiran, hingga paradigma bahwa negara kita 'tertatih-tatih' secara ekonomis, di bidang pendidikan, politik, sosial, dan lainnya.  Cerita yang meng-headline, tema yang panas, dan ide-ide yang muncul hampir semuanya menyatu menuju kondisi tersebut.  Lalu, ada apa dengan negeriku?

Paragraf ini diluar konteks dari yang sebelumya.  Masa kecil saya sungguh sangat menyenangkan; kompleks perumahan yang dinamis, teman yang kreatif, permainan yang menggembirakan, menikmati suasana sebagai 'developing country' dengan ceria serta tawa.  Yang berkecukupan dan yang tidak saling menyatu, bergaul, menjalin tali persahabatan yang langgeng.  Lalu karena sekolah atau hal lain, mencari ilmu, kita melangkah/menjelajahi dunia lain, mendapatkan teman baru, suasana berbeda.  Tapi kenangan bersama teman sepermainan di kompleks tak akan pernah terlupakan.  Pada akhirnya kita menikmati ilmu, pengalaman, pemikiran  --yang kita cerap, gali, yang diajarkan dengan ikhlas oleh para guru dan dosen tercinta-- sehingga pada akhirnya bisa berkata: 'ada apa dengan Indonesia?', 'negaraku bangkrut'.  Hujatan, umpatan ataupun makian tersebut terbentuk dalam benak mereka karena selagi di Indonesia.  'Ibu' dari pikiran mereka adalah bernama 'Indonesia'.  Inikah yang kita berikan pada 'Indonesia kita'?




Menyambung ke paragraf pertama.  Kita telah memasuki era sepuluh tahunan reformasi.  Masih teringat komentar almarhum Nurcholish Madjid bahwa reformasi butuh puluhan tahun untuk mendapatkan hasilnya, sesuai idealitasnya.  Cak Nur, dalam hal ini, menekankan bahwa kita telah memulai 'sesuatu'.  Selanjutnya, mari kita mengikuti atau menjalankan prosesnya.

Sayangnya, sementara proses itu berlangsung menuju ke arah Indonesia yang lebih 'besar', yang diidealkan,  justru makian, hujatan, umpatan menggema lebih keras.  Ada yang mengatakan, itulah konsekuensi dari demokrasi yang kita anut; yang lain mengatakan ini mekanisme check-and-balance.  Idealnya memang, tidak ada keluasan kebebasan tanpa perbedaan atau pertentangan.  Ini normal.  Pertanyaannya, 'efektifkah semacam itu?'

(Bersambung)


You may also like